Page

Tuesday, March 31, 2015

Ketulusan Dalam Berbuat


Adalah Uwais Al-Qarni seorang lelaki asal Yaman. Lelaki yang hidup dimasa Rasulullah namun tak pernah bertemu dengan Sang Rasul, untuk itu dia digolongkan sebagai tabi’in dan bukanlah sahabat. Ya, dia yang meyakini agama yang di bawa Sang Rasul meski tak pernah bertemu secara langsung. Uwais Al-Qarni hanyalah satu dari sekian banyak orang pada masanya yang memiliki kehidupan yang biasa-biasa saja. Seorang yang memiliki kegiatan berdagang dan mengembala seperti lainnya. Seorang yang bukan terkemuka dan terkenal diantara masyarakat sekitarnya.

Lalu apa yang membuatnya istimewa? Istimewanya adalah, karena Rasul mendapatkan wahyu kemudian mengabarkan kepada para sahabat bahwa sosok yang bernama Uwais Al-Qarni tersebut adalah orang yang namanya mashyur  di langit. Ya, lelaki yang bahkan tak pernah bertemu dengan Rasulullah selama hidupnya tersebut. Bagaimana bisa? Ternyata selama hidupnya dia adalah Lelaki yang sepenuh hati berbakti merawat ibunya, lelaki yang menjadikan islam sebagai nafas barunya, lelaki yang sabar dalam mengahadpi ujian, lelaki yang melalui hari-harinya dengan penuh kebaikan. Dia yang tak peduli walau sepi apresiasi, yang tak menghiraukan walau tak ada mata yang memandang. Maka dia yang dengan ketulusannya akhirnya mendapatkan cinta para penduduk langit.

Begitulah kisah singkat Uwais Al-Qarni yang dengan ketulusannya mampu menggetarkan seantero langit. Kisah tersebut mengajarkan bahwa sikap ketulusan dalam berbuat merupakan hal yang sangat penting. Bahwa ukuran perbuatan baik tidaklah dari banyaknya apresiasi, penghalang untuk berbuat kebaikan bukanlah cemoohan. Maka ketulusan tidak melulu soal sikap yang lembut, ketulusan dapat juga berbentuk ketegasan. Ketulusan adalah konsistensi berbuat kebaikan dalam segala keadaan.

Kita adalah aktor dalam panggung kehidupan. Kita lah pelaku yang menjalani alur ceritanya. Orang disekitar kita adalah penonton, dan yang namanya penonton pekerjaannya adalah mengomentari. Saat ceritanya bagus mereka memuji, saat ceritanya sedang tak bagus mereka mencaci. Begitu terus sampai cerita selesai, hingga tanpa disadari mereka tak memperoleh apapun dari komentarnya melainkan membuang energi. Maka disini kita dapat menarik kesimpulan bahwa kita hanya perlu fokus, tugas kita adalah menjalankan peran dengan sebaik-baiknya. The show must go on.

Sunday, March 29, 2015

Tukang Kompor


Kompor (n); Perapian untuk memasak.  (v); Kerap kali digunakan sebagi kata kiasan saat terjadi situasi provokasi agar orang lain terpancing untuk berbuat sesuatu, pelakunya sering disebut dengan tukang kompor.

Tentunya sebagian dari kita dalam keseharian sudah tidak asing dengan istilah tersebut. Tukang kompor, orang tersebut biasanya hampir selalu dapat kita temukan didalam lingkaran pergaulan kita. Para pelaku biasanya beraksi pada saat kondisi dimana ada salah satu orang yang tak ingin dan atau tak berani berbuat suatu hal. Seringkali tukang kompor menyebabkan kejengkelan karena telah mengantarkan pada momen yang tidak kita kehendaki. Pada kondisi tertentu tindakan pengomporan bisa jadi berakibat negatif, namun jika digunakan dengan tepat hal tersebut dapat menjadi pemicu yang positif.

Pada dasarnya tukang kompor adalah sebuah katalisator, yang dapat diartikan sebagai orang yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan, mempercepatnya, ataupun menimbulkan hal-hal baru dalam diri kita. Tentunya kita harus berhati-hati, disinilah pentingnya kita untuk memiliki lingkungan yang baik. Jangan sampai kita yang sudah berdiri dalam kebaikan malah bertemu dengan para tukang kompor yang akan merubah diri kita sejengkal demi sejengkal hingga terjerumus kepada keburukan.

Tentunya sudah tidak asing di telinga kita bukan? tentang analogi lingkungan pergaulan antara pandai besi dan penjual parfum. Jika kita sering bergaul dengan pandai besi maka baju kita akan berlubang terkena percikan bara api, begitu halnya jika kita bergaul dengan penjual parfum sedikit banyak baju kita dapat terciprat aroma wangi.

Begitulah lingkungan sangat berpengaruh bagi kita. Anda boleh percaya atau tidak, bahwa sebagian besar karakter diri dibentuk dari lima orang  terdekat yang kita sering mengeluarkan waktu bersamanya – silahkan, boleh di cek. Kesimpulannya, temukanlah lingkungan yang baik. Tempat dimana kita bisa menemukan para tukang kompor yang dapat menjadi katalisator perbaikan. Membawa perubahan, mempercepatnya, dan menjadikan diri menjadi lebih baik.

~Tetaplah di lingkungan yang baik, niscaya kebaikan mereka akan memastikan kita baik-baik saja dan menjadikan kita lebih baik lagi.

Versi Terbaik


Abraham Maslow – seorang psikolog asal Amerika – memiliki sebuah teori tentang piramida kebutuhan manusia. Dia membagi kebutuhan manusia dalam sebuah hirarki dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Kebutuhan tersebut dimulai dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, kebutuhan dihargai, dan dipuncaki dengan kebutuhan aktualisasi diri.

Aktualisasi diri sebagai puncak kebutuhan manusia diwujudkan dalam keinginan terus menerus untuk memenuhi potensi. Merupakan sebuah kebutuhan untuk mengembangkan kapasitas, bakat, kekuatan, dan sebagainya. Sebuah keinginan untuk menjadi versi terbaik dari diri, sebuah versi yang diwujudkan dalam pengembangan diri tanpa batas. Bagaimana dengan anda? Sudahkah ada  kebutuhan diri untuk mengembangkan potensi? Jika sudah, berarti anda sampai pada gerbang awal perjalanan menuju versi terbaik dari diri anda.

Maslow menyebut teorinya sebagai hirarki “kebutuhan” manusia. Karena disebut sebagai kebutuhan, maka diri kita sendirilah yang dapat memenuhinya – tak bisa diwakilkan kepada orang lain. Sebagai contoh, tak mungkin kita memenuhi kebutuhan fisiologis seperti lapar dan haus kemudian kita meminta orang lain yang makan dan minum. Kebayang bukan? Tak akan pernah menyelesaikan kebutuhan kita. Maka dalam memenuhi kebutuhan aktualisasi diri pun sama, kita sendiri yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Seperti kata pepatah, “If you are searching for that one person that will change your life, take a look in the mirror”. Setelah membaca tulisan ini segera berkaca dan bilang, “Kamu. Iya, kamu yang akan merubah diri ini”.

Maka benarlah firman Allah dalam Surat Ar-Ra’d ayat 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang pada diri mereka”. Bahwa perubahan memanglah dimulai dari kita sendiri, dan hal ini pun juga berlaku dalam masyarakat. Bahwa dibutuhkan perubahan dari setiap entitas dalam masyarakat untuk dapat membentuk versi terbaik dari negeri kita tercinta, Indonesia.

Pada akhirrnya perubahan yang kita maksudkan tentunya adalah perbaikan yang berkelanjutan. Maka mari kita mulai dengan memperbaiki diri sendiri,  melakukan yang terbaik, dan menjadi versi yang terbaik. Ibda’ binafsi.

Saturday, March 28, 2015

Guru Kehidupan


“Terpujilah Wahai Engkau Bapak Ibu Guru, Jasamu akan selalu ku kenang dalam sanubariku”. Begitulah penggalan lagu yang selalu mengingatkan saya pada momen acara wisuda, Sungguh momen yang bahagia tiada tara. Sebuah momen yang mengakumulasi  rasa haru seluruh kenangan romantika perjuangan menuntut ilmu.

Wisuda juga merupakan sebuah momen yang menyimbolkan purna tugas guru kepada murid. Meskipun begitu, saya percaya bahwa tidaklah ada yang namanya mantan guru, karena ilmu yang kita terima tak akan pernah dapat kita kembalikan – sekali pernah menjadi guru, seumur hidup tetap akan menjadi guru. Secara tak sadar kita tumbuh bersama ilmu yang mereka berikan. Merekalah yang mengantarkan kita ke gerbang menuju tempat dimana kita berdiri sekarang. Maka tak berlebihan jika mereka disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka yang tak mendapatkan imbalan apapun atas segala pencapaian kita, kecuali pahala tentunya.

Guru tidaklah bisa diartikan secara sempit sebagai mereka yang yang melakukan pengajaran di dalam kelas pada sekolah formal. Semua yang memberikan ilmu adalah guru. Kita selalu bisa belajar kepada orang yang ada di sekitar kita, banyak hikmah yang mungkin bisa kita ambil . Saya mempunyai sebutan khusus bagi mereka yang memberikan ilmu dan hikmah tersebut sebagai guru kehidupan.

Ketika kita sudah menerima ilmu bukan berarti tanggung jawab kita selesai. Tugas kita selanjutnya adalah meneruskan ilmu yang kita terima, mengajarkannya. Menyalurkan ilmu adalah sebuah tanggung jawab sebagai bentuk balas jasa kepada para guru kita. Tugas kita adalah meneruskan estafet ilmu sebagai guru kehidupan.

Perumpamaan ilmu adalah seperti air yang jika kita membendungnya akan menyebabkannya keruh dan menjadi sumber penyakit, sedangkan jika kita mengalirkannya akan tetap menjadi jernih dan memberikan manfaat. Begitulah mengapa kita harus senantiasa menyalurkan ilmu. Mari kita menjadi guru kehidupan terbaik, yang mengalirkan segala kebaikan ilmu menuju lautan manfaat.

Friday, March 27, 2015

Kompetensi Meraih Kesuksesan


“Succes is the ability to go from failure to failure without losing enthusiasm”, begitulah seorang Winston Churchill memaknai sebuah kesuksesan. Ada hal yang menarik dari pemaknaannya tentang kesuksesan tersebut, bahwa dia menggambarkan kesuksesan tidaklah dalam suatu kondisi pencapaian tertentu melainkan sebagai kemampuan berproses. Begitulah setidaknya yang saya tangkap bahwa pemaknaan tersebut memanglah tidak menitikberatkan pada apapun yang telah kita capai, melainkan lebih kepada ability yang kita miliki – sebuah kompetensi  dalam berproses.

Berbicara tentang sebuah kompetensi dalam berproses, saya pernah mendapatkan kisah berkaitan dengan hal tersebut – beginilah kisahnya.

Dalam sebuah got di salah satu komplek perumahan terdapat dua ekor tikus yang sedang mencari makan. Dalam proses pencariannya mereka tetiba berhenti, mereka menemukan sepotong roti keju. Sayangnya roti keju tersebut terhalang oleh jeruji besi, tanpa pikir panjang mereka mencoba sekuat tenaga untuk menghancurkan jeruji tersebut dengan gigi-gigi mereka yang tajam. Sayangnya usaha mereka tak berdampak apapun pada jeruji tersebut.

Karena kelelahan merekapun beristirahat dan salah satu tikus memulai perbincangan – dengan bahasa tikus tentunya. Tikus tersebut berkata, “Jeruji tersebut terlalu kuat dan tak mungkin kita hancurkan, kita harus mencari cara lain!”. Tikus yang satu menanggapi, “Aku tak akan menyerah, akan kuhancurkan jeruji itu. Kalau tidak sekarang, kapan lagi kita dapat makan roti keju. Kamu saja yang lemah!”.

Tanpa memperdulikan ejekan temannya, tikus tersebut memilih mundur dan mencari  jalan lain menuju roti keju tersebut. Akhirnya dengan sedikit upaya tambahan tikus tersebut menemukan jalan dan sampai pada lokasi roti keju tersebut. Dan diapun mendapati temannya di balik jeruji besi terkapar kelelahan dan kesakitan karena patah giginya.

Dalam kisah tersebut kita tidak menemukan mental orang gagal diantara keduanya, tidak ada yang menyerah sebelum berusaha – tidak ada. Karena memang cerita tersebut tidak menceritakan tentang mental gagal, cerita tersebut menjelaskan nilai moral  bahwa kegigihan saja tidak cukup dalam mencapai sebuah kesuksesan. Bahwa kegigihan tersebut bukanlah satu-satunya kompetensi dalam berproses yang dimaksudkan dalam pemaknaan kesuksesan diatas.

Dalam berproses, selain kegigihan diperlukan adanya kecerdasan dan keikhlasan. Kecerdasan penting dalam melihat peluang , menemukan momentum, dan mengambil keputusan. Sedangkan keikhlasan memberikan kelapangan hati dalam sempitnya peluang, menumbuhkan keyakinan. Maka ketika ketiga kompetensi tersebut dikombinasikan akan menjadi sebuah perpaduan apik yang disebut dengan kesuksesan. Sebuah kegigihan menghadapi kegagalan, kecerdasan dalam bangkit mencari jalan, dan keikhlasan yang menumbuhkan antusiasme.

Maka disinilah kita mendapatkan konsep bahwa kesuksesan merupakan perpaduan antara kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas. Menutup tulisan ini, guru kehidupan saya pernah berpesan bahwa ada pembeda yang jelas antara orang yang sukses dengan yang gagal – “orang sukses mencari jalan, orang gagal mencari alasan”. 

Tuesday, March 24, 2015

Pengguna Waktu Terbaik


Setiap orang memiliki 24 jam yang sama dalam sehari, namun dalam 24 jam yang sama tersebut ternyata setiap orang memiliki pencapaian yang berbeda. Saya menyebut dengan pencapaian, bukan sekedar pemanfaatan. Nyatanya ada orang yang sama-sama “memanfaatkan” setiap satuan waktu dengan beraktivitas namun ternyata mendapatkan hasil yang berbeda. Bahkan ada orang yang menggunakan waktunya hanya dengan berleha-leha namun memiliki pencapaian yang luar biasa, sedangkan di lain sisi ada orang yang bekerja mati-matian namun tak mendapatkan apa-apa kecuali lelahnya.  Meskipun yang kita bicarakan adalah tentang pencapaian, namun sebenarnya pencapaian tidaklah terlepas dari pemanfaatan waktu itu sendiri. Pencapaian yang luar biasa selalu dilatarbelakangi dengan pemanfaatan waktu yang optimal.

Mari kita coba bayangkan jika waktu adalah sebuah wadah besar yang kosong dan setiap orang memiliki wadah dengan ukuran yang sama. Wadah tersebut menggambarkan 24 jam dalam sehari yang kita miliki. Lalu anggaplah apapun yang bisa ditampung oleh wadah adalah aktivitas yang kita lakukan dalam sehari tersebut. Mari bayangkan wadah tersebut kemudian diisi dengan bongkahan batu hingga penuh. Ilustrasi tersebut merupakan gambaran orang yang dapat mengisi kesehariannya dengan penuh aktivitas – saya ucapkan selamat jika anda sudah dapat melakukannya. Namun sebagian orang yang lain ada yang tidak berhenti dengan hal tersebut, selain mengisi wadahnya penuh dengan bongkahan batu – mereka juga mengisi rongga yang kosong dengan kerikil-kerikil. Orang-orang seperti tersebut memanfaatkan waktu seoptimal mungkin untuk mendapatkan pencapaian yang terbaik. Bahkan, bisa jadi sebagian kecil lainnya ada yang dapat menyisipkan pasir dalam penuhnya wadah dengan batu dan kerikil.

Nah, lalu apa yang orang dengan pencapaian terbaik lakukan dengan wadahnya? Orang dengan pencapaian terbaik tidak cupuk mengisi wadahnya dengan batu, kerikil, dan pasir – mereka mengisinya dengan hal-hal yang memiliki nilai lebih tinggi. Mereka mengisinya dengan karya yang memberikan manfaat. Lalu kenapa ada orang yang berleha-leha namun memiliki pencapaian yang luar biasa? Mereka adalah orang yang sadar bahwa waktu yang ia miliki terlalu sedikit untuk mewujudkan karyanya yang besar. Maka dari itu dia mendelegasikan pekerjaannya,  dan akhirnya dia pun tetap memiliki banyak waktu untuk sedikit berleha-leha dan mencoba mewujudkan karya besar lainnya.
Tidaklah cukup menghabiskan waktu dengan aktivitas yang melelahkan, haruslah ada nilai dalam setiap tetes keringat yang dikeluarkan. Maka benarlah kata pepatah bahwa waktu itu laksana pedang, jika kita tidak  mampu memanfaatkannya, maka ia yang malah akan menebas kita. Jika kita tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam kesia-siaan.

Pengendali Waktu


Saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah pertanyaan, tentunya anda mengenal dengan Sapardi Djoko Damono bukan? Seorang pujangga dengan banyak karya. Barangkali jika anda masih samar dengan sosoknya, mungkin puisi berikut dapat mencerahkan ingatan anda.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Bagaimana, sudah ingat? Ya, puisi tersebut adalah karangannya. Puisi berjudul “Aku Ingin” tersebut dibuat tahun 1989 dan terus hidup hingga sekarang, tak pernah padam memberikan pemaknaan cinta yang sederhana – Puisi tersebut tetap melekat di hati para pecinta. Namun saya sekarang sedang tidak akan membahas tentang puisinya tersebut ataupun karya yang lainnya, saya ingin membahas sedikit tentang semangat Sapardi Djoko Damono dalam berkarya.

Tahukah anda? Pada tahun 2015 Sapardi Djoko Damono genap menginjakkan usianya yang ke-75. Dan tahukah anda? Dalam usianya yang lanjut tersebut dia masih mengeluarkan karya. Dia membuat novel berjudul “Trilogi Soekram”, tidak tanggung-tanggung – karyanya berbentuk trilogi!. Barangkali dia berusia 75, tapi menurut saya dia berkarya laksana pemuda berusia 25. Maka pantas kiranya sosok seperti Sapardi Djoko Damono – saya juluki sebagai sang pengendali waktu.

Sang pengendali waktu yang saya maksudkan adalah mereka yang melalui setiap satuan waktu dengan berkarya, mereka yang dengan karyanya menjadi bagian dalam menggerakkan zaman. Jika yang terbayang dalam benak anda adalah mereka yang mampu menghentikan ataupun memutarbalikkan waktu, entahlah – yang bisa melakukan itu menurut saya hanya sang maha pengendali waktu, Allah SWT.

Berbicara tentang para pengendali waktu, kita bisa belajar dari mereka yang sudah sukses dengan karyanya. Mungkin dalam hal ini kita bisa mengambil contoh suksesnya perusahaan IT yang meliputi Google, Apple, Microsoft, dan HP. Perlu anda ketahui, pendiri perusahaan kelas dunia tersebut merintis usahanya dengan berkantorkan sebuah garasi. Menurut saya para pengendali waktu memiliki pola yang sama, mereka memulai karya dengan melakukan. Think big start small, untuk mencapai sebuah tujuan besar selalu dimulai dengan satu langkah kecil.

Memulai sesuatu bisa jadi sama halnya dengan mengayuh sepeda, jika kita berhenti mengayuh kita akan terjatuh. Butuh sebuah konsistensi dalam berbuat – dan tentunya sebuah proses yang disebut dengan belajar. Layaknya anak kecil yang mencoba mahir bersepeda, mereka bisa karena terbiasa, mereka terbiasa karena pembiasaan. Maka tak penting berapa kali kita gagal, yang penting adalah berapa kali kita bangkit. Begitulah terus yang akan pengendali waktu lakukan, sampai mereka mencapai tujuan.
Kita memiliki keterbatasan waktu dalam hidup. Sungguh waktu akan terus berputar, tak akan terpengaruh oleh apapun yang dilaluinya. Celakalah mereka yang berdiam, mereka akan digilas oleh waktu. Merugilah mereka yang terlena, mereka akan hanyut dalam arus waktu. Dan beruntunglah mereka yang berkarya, merekalah yang terpilih menjadi pengendali waktu.
Di akhir tulisan ini mari tanyakan pada diri kita masing-masing, sudahkah kita menjadi pengendali waktu? Jika jawabannya sudah, teruslah berkarya! Jika jawabannya belum, mari mulai berkarya!.

Sunday, March 22, 2015

Akar Semangat


Kamu dan aku tentunya sudah tahu bahwa semangat memanglah fluktuatif. Kadang kita begitu membara, berapi-api, berkobar-kobar dalam jiwa seolah tak ada yang pernah dapat menghentikan kita. Tapi kadang kita menjadi beku, dingin tak berdaya, diam tak berupaya seolah dunia tak adil karena begitu kejamnya kepada kita.

Jika aku boleh menganalogi, bagiku semangat itu laksana akar. Dia terpendam tapi menopang, dia fondasi yang menguatkan. Semakin kuatnya akar, semakin mengokohkan batang. Kau boleh setuju ataupun tidak, aku hanya ingin berpesan padamu yang kian melesu:

Pastikan semangatmu mengakar di hati, bukan membumbung di langit hati ataupun tersimpan di palung hati. Kala badai menghadang, perkuatlah akar semangat agar pohon upaya tetap bisa menjulang kokoh. Apapun yang terjadi tetaplah bersabar, yakinlah pohon upaya akan membuahkan hasil termanis di penghujung kisah perjuangan.

Tersenyumlah, berikan senyuman yang termanis. Semanis kisah perjuangan yang tak lekang hanya oleh kecapan.

Saturday, March 21, 2015

Kawan Sejati


Bisa jadi orang paling berbahaya adalah kawan kita sendiri. Lawan hanya melihat dari cover diri, tapi kawan paling mengerti dari daftar isi hingga referensi. Kawan tahu apa kekuatan diri, tapi tak kalah tahu apa kelemahan diri ini bukan?. Kawan paling tahu kapan waktu yang tepat untuk menikam, kawan pula yang paling tahu darimana harus menusuk.

Tapi percayalah, kawan sejati tak akan pernah berbalik. Kawan sejati mengulurkan tangan untuk membantu, kawan sejati mengepal tangan untuk menguatkan.

Secangkir Cokelat


Pernah bertanya apa yang benar-benar kita inginkan dalam hidup? Bagi saya ini adalah pertanyaan yang menarik. Kebanyakan orang barangkali memiliki jawaban yang sama, ingin hidup bahagia. Jika memang begitu, maka pertanyaan selanjutnya adalah apa yang membuat kita bahagia?, maka disanalah menurut saya akan menjawab pula pertanyaan apa yang paling kita inginkan dalam hidup.

Saya pernah mendapatkan sebuah kisah menarik tentang beberapa orang pemuda yang bertamu kepada gurunya. Saat bertamu para pemuda tersebut disajikan satu teko cokelat panas dengan berbagai macam jenis cangkir, mulai dari cangkir yang cantik, yang mahal, sampai yang biasa-biasa saja. Para pemuda tersebut mulai menuangkan coklat pada cangkir masing-masing, kemudian sang gurupun berkomentar, “Lihatlah, kalian mengambil cangkir-cangkir yang terbaik dan menyisakan yang biasa-biasa saja. Sebenarnya yang kalian inginkan cokelatnya atau cangkirnya?”

Apa yang bisa kita dapat dari kisah ini? Saat kita mengambil cangkir-cangkir terbaik, maka saat itulah sering kali kita mulai membanggakan cangkir yang kita genggam dan bahkan kadang membandingkan dengan yang digenggaman orang lain. Kita lupa bahwa sebenarnya yang kita inginkan adalah meminum cokelat, kita sibuk dengan pesona cangkir-cangkir yang menggoda, padahal kita semua tahu yang membuat nikmat bukanlah cangkirnya tapi kualitas dari cokelat.

Dalam keseharian barangkali kita ditanamkan dengan simbol-simbol kebahagian seperti kekayaan maupun kekuasaan. Maka dapat saya katakan bahwa simbol-simbol tersebut adalah cangkirnya, dan kadang atas nama mendapatkan yang terbaik kita banting tulang, kita jungkir balik, kita jatuh bangun, dan pada akhirnya kitapun tak kunjung bahagia. Kita lupa bahwa kualitas kebahagian ada dalam diri, kita terlalu sibuk dengan godaan cangkir-cangkir yang menyilaukan.

Adalah wajar bagi setiap orang ingin mendapatkan yang terbaik, namun sampai disini cobalah kita tanyakan kepada diri kita kembali, Apa yang sebenarnya kita inginkan?

~Bahagia itu sederhana, kita sendiri yang bikin ribet.