Page

Sunday, September 20, 2015

Ujian, Waktunya Naik Kelas!


Tentunya selama menjalani proses pendidikan kita sudah tak asing lagi dengan yang namanya ujian. Barangkali ujian memang menyebalkan. Ujian membutuhkan persiapan dan kematangan. Ujian memberikan tuntutan untuk mengeluarkan seluruh daya dan upaya. Namun begitulah adanya, ujian merupakan sebuah keniscayaan. Ujian dijadikan sebagai sebuah standar yang harus dipenuhi seseorang agar bisa naik ke tingkat yang lebih tinggi – Ya, standar untuk naik kelas.

Sama kayak sekolah, kehidupan juga ada ujiannya. Keduanya sama, menuntut untuk belajar. Makanya kita perlu di uji, agar bisa naik kelas. Orang yang sekarang sukses pun sama, mereka juga dulunya di uji. Kalau tak percaya lihat saja kalau di seminar-seminar, mereka tak luput untuk menceritakan romantika perjuangan untuk mencapai kesuksesan.

Pernah dengar tentang analogi roda kehidupan kan? Bahwa kadang hidup kita berada di atas dengan segala kenyamanan, kesenangan, maupun keleluasaan. Kadang juga hidup kita berada di bawah dengan segala kepedihan, kesedihan, dan kesempitan – Seolah-olah dunia sangatlah kejam kepada kita. Memang begitulah siklus yang harus kita jalani, ada kalanya kita memang perlu diuji untuk mengetahui seberapakah kualitas hidup kita. “No pain no gain”, begitulah katanya. Bahwa kita harus ditempa dan digembleng habis-habisan, biar kita nantinya menjadi pribadi yang memiliki otot kawat dan tulang besi – Biar kuat kayak Gatotkaca! Hehe. Bukan, maksud saya biar kita menjadi pribadi yang lebih tangguh.

Kabar gembiranya, bersama setiap ujian terdapat kesempatan untuk naik kelas. Bahwa kita akan beranjak naik dari siklus bawah roda kehidupan. Bahwa kita akan menemukan tanjakan setelah turunan. Bahkan bukannya tidak mungkin kita mendapatkan kesempatan akselerasi untuk meroket lebih tinggi dari yang pernah kita bayangkan. Tapi, itu semua tentunya hanya bagi yang lulus ujian!. Namun tenanglah, bahwa Allah sudah berjanji tidak akan menguji hambaNya melebihi kemampuan. Bahwa setiap ujian, sudah disesuaikan takarannya dengan kelas kita. Tinggal kita, apakah akan mengambil kesempatan ini untuk naik ke tingkat yang lebih baik, ataukah termenung di tingkatan yang sama atau malah jatuh ke dalam lubang kehinaan yang sedalam-dalamnya. Maka bangkitlah, dengan segala daya dan upaya – dan tentu dengan mengharap kepada Nya – kita pasti mampu menghadapi ujian yang ada, Insyaallah.

Life is like a roller coaster, it has its up and downs. But it’s your choice to scream or enjoy the ride”. Pada akhirnya, pilihan selalu ada di tangan kita. Memilih tertekan menghadapi segala ujian, atau menikmati segala proses yang ada. Berikanlah yang terbaik dan bersabarlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.

Gambar dari sini

Tuesday, May 26, 2015

Hidup dan Menghidupkan


Tempo hari saat saya sedang liburan bersama teman-teman, selama momen tersebut  kami mengobrol ngalor ngidul tak karuan. Hingga pada akhirnya topik obrolan ringan kami menyinggung tentang filosofi kehidupan. Dengan nada bercanda saya nyeletuk bahwa hidup itu bisa jadi kayak angkot, ada yang bertahan ngetem lama di keramaian namun tak kunjung mendapatkan penumpang, di lain sisi ada yang terus melaju di sepinya jalan namun tak terduga mendapatkan penumpang sampai berjubal, seperti keterbatasan kita mengetahui dari arah mana datangya rezeki. Teman-teman saya kemudian pun tertawa mendengarkan celetukan saya tentang filosofi hidup laksana angkot tersebut.  Dalam suasana santai dan tak serius tersebut saya justru mendapatkan kesimpulan bahwa hidup bisa dimaknai ke dalam bentuk apapun. Bahwa setiap orang dapat memaknai kehidupan ke dalam versi yang mereka anggap paling tepat.
   
Saya jadi teringat bahwa dulu saya juga pernah mengobrol topik ini bersama teman saya yang lain. Pada waktu itu saya mendapatkan analogi bagus tentang filosofi kehidupan yang kurang lebih seperti berikut.
Hidup adalah sebuah tantangan, maka hadapilah.
Hidup adalah sebuah lagu, maka nyanyikanlah.
Hidup adalah sebuah mimpi, maka sadarilah.
Hidup adalah sebuah permainan, maka mainkanlah.
Hidup adalah cinta, maka nikmatilah.
Begitulah, hidup akan memberikan makna yang berbeda bagi yang menjalaninya. Bahwa tak masalah kita memaknainya dalam bentuk apapun, yang terpenting pemaknaannya dapat memberikan hikmah bagi yang memaknainya.

Menyambung tentang kehidupan, Tingkatan terbaik dalam menjalani kehidupan adalah dengan tidak hanya memikirkan diri sendiri. Bahwa hidup tak hanya untuk sepotong roti ataupun sesuap nasi. Seperti kata Buya Hamka “Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup”. Maka hidup itu harus memberikan kebermanfaatan, hidup itu harus menghidupkan. Menebar kebermanfaatan ke seluruh penjuru alam. Layaknya sinar mentari, menyokong kehidupan kepada tunas yang bertumbuh dan menguatkan kehidupan kepada yang sudah mengakar.

Khairunnas anfa’uhum linnas

Thursday, May 14, 2015

Afirmasi : Gugurkan Keraguan, Tumbuhkan Keyakinan


Pernah nonton film India? Atau anda salah satu penggemar film India? Dalam keseharian sepertinya sudah tidak asing lagi, bahwa film India sering diidentikkan dengan adegan nyanyi-nyanyi dan tarian-tarian yang dimunculkan pada momen-momen tertentu dalam jalannya cerita. Adegan tersebut seringkali menggambarkan suatu wujud ekspresi bahagia, sedih, cinta, semangat, dan sebagainya. Nyanyian dan tarian dalam film india menjadi sebuah bumbu khas yang mengundang selera bagi para penggemarnya, nyanyian dan tarian tersebut menjadi sebuah signature yang melekat pada film-film bollywood tersebut.

Menyambung tentang film india, ada sebuah film yang menurut saya sangat menarik. Mungkin anda juga sudah tak asing dengan film ini, filmnya berjudul “3 Idiots”. Saya kira banyak orang yang memberikan kesan positif terhadap film ini, bahkan juga termasuk orang yang sebenarnya tidak menggemari film india. Menurut saya yang menarik dalam film ini adalah karena mengangkat topik yang cukup fresh namun sangat dekat dengan keseharian, film ini mengangkat topik tentang passion, karir, dan konsep seputar pendidikan. Film ini berlatar belakang tentang kehidupan kampus tiga orang sahabat lengkap dengan problematikanya yang dibungkus dalam sebuah cerita yang apik dan syarat akan komedi. Film ini juga seolah mengajak para penontonnya untuk sejenak kembali mengenang momen-momen  manis kehidupan kampus.

Nah, dalam film tersebut anda tentunya sudah tidak asing dengan tokoh utamanya yang bernama Ranchodas Chanchad – kalau anda merasa asing berarti kemungkinan anda belum menonton filmnya, hehe. Dalam ceritanya Ranchodas memiliki sebuah kata sakti yang selalu di rapalkan setiap kali menghadapi masalah – ya, “All is Well”. Sebuah kata yang dapat meninggalkan kesan yang mendalam di hati para penontonnya dan bahkan menjadi tren kata dalam keseharian.

“All is Well” sendiri, dalam filmnya diceritakan dulunya merupakan sebuah kata yang sering digunakan oleh peronda malam di suatu kampung yang setiap malam selalu berteriak lantang dengan kata “ALL IS WELL!”, Kata tersebut lantas membuat semua penduduk menjadi tenang dan dapat tidur dengan nyenyak. Namun pada suatu malam terjadi pencurian di kampung tersebut, yang kemudian menyadarkan para penduduk bahwa ternyata peronda malam tersebut adalah seorang yang buta. Dan di malam-malam selanjutnya peronda malam tersebut tetap saja berteriak “ALL IS WELL! ALL IS WELL!” Penduduk  pun merasa bahwa selama itu seperti orang bodoh. Namun penduduk mendapatkan sebuah kesadaran bahwa hati mereka ternyata penakut. Itu yang membuat mereka selama itu mudah terkelabui. Dari sana diambillah sebuah pelajaran, bahwa jika kita mendapatkan sebuah masalah, katakanlah dalam hati, “All is Well! All is Well!”. Memang, kata tersebut tak akan menyelesaikan masalah, tapi setidaknya akan mengumpulkan kekuatan untuk bertahan.

Kata tersebut sebenarnya merupakan sebuah bentuk afirmasi diri untuk membentuk keyakinan dalam menghadapi permasalahan. Afirmasi sendiri merupakan sebuah bentuk penetapan yang positif; penegasan;maupun peneguhan. Afirmasi merupakan suatu bentuk sugesti pada diri untuk menghilangkan keraguan dan memupuk keyakinan dalam berbuat. Konon katanya dengan memberikan afirmasi pada diri secara terus menerus dapat mempengaruhi otak bawah sadar – ngeri-ngeri sedap ya. Afirmasi akan membentuk kebiasaan, sebuah reflek dalam  berbuat. Hal tersebut layaknya orang yang berlatih beladiri, mereka melakukan gerakan jurusnya secara berulang-ulang. Memukul, menangkis, menendang – terus-menerus – hingga pada akhirnya mereka membentuk reflek ketika dilakukan serangan. Sama halnya, kata yang diucapkan pada diri secara terus- menerus pada akhirnya juga akan membentuk reflek sebuah keyakinan.

Setiap orang bisa jadi memiliki bentuk afirmasi diri masing-masing. Bisa jadi seperti Spongebob yang selalu berkata “Aku Siap! Aku Siap!”, atau barangkali berupa jargon yang menggelora layaknya kata “yakin bisa pasti bisa!”, dan sebagainya. Namun, afirmasi juga tak melulu harus diucap dengan kata, bisa jadi dia berbentuk sebuah sikap dan kebiasaan. Layaknya Popeye yang menjadi kuat setelah makan bayam, atau mungkin orang yang harus mencari keheningan untuk dapat berkonsentrasi, atau barangkali orang yang memakai baju tertentu agar tampil lebih percaya diri, dan sebagainya. Pada akhirnya kita pun kembali pada kesimpulan awal, bahwa sejatinya kita memiliki kekuatan dan kemamampuan yang besar, hanya saja kadang kita tak cukup yakin dan terjebak dalam keraguan. Afirmasi pada dasarnya memanglah tidak akan menyelesaikan masalah, namun bertujuan untuk menggugurkan keraguan dan menumbuhkan keyakinan. Lalu, apa bentuk afirmasi anda?

Sunday, April 26, 2015

Paradigma Positif


Paradigma dapat diartikan sebagai sebuah bentuk cara pandang terhadap diri dan lingkungan yang nantinya akan mempengaruhi dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku. Paradigma akan selalu hadir mulai dari peletakan pondasi pemikiran hingga terbangunnya sebuah sikap; Paradigma ada dalam setiap sendi proses berpikir maupun bersikap terhadap sebuah hal. Paradigma seperti menjadi sebuah kesepakatan awal dalam menentukan jalan panjang mana yang akan dilalui. Sekali menentukan pada paradigma tertentu akan mempengaruhi serangkaian konsep berpikir, pengambilan keputusan dan tingkat pencapaian. 

Saya pernah menghadiri sebuah talk show dengan Ade Rai sebagai narasumbernya di kantor tempat saya bekerja. Pada kesempatan tersebut salah satu topik yang disampaikan oleh Ade Rai adalah tentang tingkat kesehatan masyarakat. Menurutnya saat ini masih terdapat banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat. Upaya-upaya perbaikan tingkat kesehatan yang dilakukan sekarang masih berfokus pada mengatasi penyakit dan pengobatan. Padahal tujuan utamanya ingin meningkatkan “kesehatan” kan? Jika memang kesehatan sebagai tujuannya, seharusnya upaya yang perlu dilakukan sekarang adalah meningkatkan fokus untuk membentuk kesadaran pola hidup sehat dalam masyarakat selain pada mengatasi penyakit dan pengobatan. Menurut Ade Rai  tingkat kesehatan yang rendah terjadi karena masih minimnya kesadaran masyarakat akan pola hidup sehat, oleh karena itu perlu adanya upaya-upaya peningkatan kesadaran dan perubahan dalam masyarakat.

Konsep Ade Rai tentang peningkatan pola hidup sehat tersebut sejalan dengan ilmu kesehatan masyarakat yang saya pelajari, konsep tersebut dapat disebut dengan paradigma sehat. Paradigma sehat menekankan pada upaya peningkatan, pemeliharaan, dan perlindungan kesehatan, bukan hanya pada aspek penyembuhan orang sakit atau pemulihan kesehatan. Paradigma sehat adalah upaya peningkatan kesehatan masyarakat yang bersifat holistik melalui program pelayanan kesehatan yang bersifat preventif dan promotif dengan tujuan untuk membentuk kesadaran masyarakat terhadap kesehatan – tentunya tanpa mengesampingkan upaya kuratif dan rehabilitatif.

Dalam hal tersebut dapat kita lihat bahwa perumusan paradigma akan sangat mempengaruhi terhadap konsep berpikir, pengambilan keputusan dan tingkat pencapaian. Bisa kita bayangkan jika upaya peningkatan kesehatan hanya berfokus pada pengobatan dan penyembuhan, yang terjadi nantinya adalah kesehatan menjadi suatu hal yang bersifat konsumtif dan jauh dari pembentukan kesadaran masyarakat akan kesehatan.

Nah, begitulah pentingnya paradigma. Sekarang kita berbicara tentang paradigma dalam keseharian. Pernah nggak sih merasa jenuh dengan pemberitaan kurang mengenakkan yang sering muncul di media? Saya menjumpai berbagai macam respon dari orang dalam keseharian saya terhadap pemberitaan-pemberitaan tersebut, ada yang mengeluhkan isi berita, ada yang bosan dengan segala pemberitaan media, ada yang mengeluarkan opini pribadi terhadap pemberitaan yang ada, dan juga ada yang berdiskusi panas karena perbedaan pendapat menyikapi hasil pemberitaan. Ya begitulah media, disoleknya peristiwa menjadi primadona yang menggoda namun dalam saat bersamaan terlihat menor tak sedap dilihat. Semua kembali lagi dari sudut mana kita memandangnya.
   
Berangkat dari hal tersebut, saya kemudian berpikir bahwa mungkin kita perlu untuk membentuk sebuah paradigma. Sebuah paradigma yang membentuk optimisme dalam mengahadapi segala kejadian yang ada – saya menyebutnya sebagai pradigma positif. Berkaitan hal tersebut,  ada sebuah intermezzo menarik yang pernah saya terima yang bercerita bahwa terdapat sebuah surat kabar yang memuat berita berjudul “50% Anggota Dewan Kita Koruptor”, karena terdapat anggota dewan yang tidak terima dan kemudian menuntut, judul berita tersebut akhirnya pun di ralat menjadi “50% Anggota Dewan Kita Bukan Koruptor”.  Bagaimana? Saya rasa penafsiran dan efek psikologis yang diberikan dari kedua kalimat tersebut berbeda. Kalimat pertama memberikan penyikapan negatif yang berujung pada kegeraman maupun ketidakpercayaan pada anggota dewan, sedangkan kalimat kedua membentuk penyikapan yang lebih positif untuk memupuk kepercayaan pada anggota dewan tanpa menghilangkan kepedulian terhadap pemeberantasan korupsi.

Begitulah, paradigma positif membentuk efek psikologis yang baik dalam menyikapi keadaan. Berawal dari psikologis yang baik kemudian akan terbentuk pengertian yang baik dan penyikapan yang baik pula. Seperti pada pengertian diawal bahwa paradigma adalah sebuah bentuk cara pandang yang mempengaruhi dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku; maka paradigma positif tidaklah sekedar sebuah bentuk positif mindset; Lebih dari itu paradigma positif haruslah terinternalisasi dalam bentuk sikap dan tingkah laku pada keseharian. Disinilah pentingnya, agar kita dapat berpikir, bersikap, dan bertingkah laku dengan sudut pandang yang lebih baik. Paradigma positif menjaga api optimisme dalam berpikir dan bertindak menghadapi segala hal; Paradigma positif memandang permasalahan sebagai sebuah tantangan dan bukanlah sebagai hambatan.

Thursday, April 23, 2015

Kurang Lebih


Sudah fitrahnya manusia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Katanya orang itu harus fokus kepada hal yang menjadi kelebihannya, agar dapat semakin ahli; agar dapat menjadi sukses. Namun kadang praktiknya tak semudah itu, jika kita dihadapkan pada pertanyaan “apa kelebihan anda?”, Kerap kali sebagian dari kita masih meraba-raba dan berpikir keras mencari jawabannya; sebagian yang lain mencoba meyakinkan diri kembali atas keraguan tentang kelebihan yang dimiliki. Malah sebagian dari kita mungkin lebih mudah untuk menyebutkan rentetan kelemahan daripada mencari satu poin tentang kelebihan. Mencari jawaban pertanyaan tersebut saja kita kadang kesusahan, lalu bagaimana kita akan fokus pada kelebihan?. Katanya mengetahui kelebihan dan kekurangan diri itu penting adanya, sebagai sebuah bentuk gambaran bahwa kita mengetahui tentang konsep diri.

Saya pribadi adalah orang yang setuju tentang pentingnya mengetahui kelebihan dan kekurangan diri. Konsep diri adalah komponen yang penting dalam pengembangan diri. Pengembangan diri menuntut waktu untuk berproses dan dukungan dari segala kemampuan diri. Sedangkan kemampuan diri meliputi pada aspek kelebihan dan kekurangan tersebut – yang selanjutnya kemampuan diri disebut sebagai konsep diri yang sebelumnya dimaksudkan. Untuk itu bagi saya menemukan konsep tentang kelebihan dan kekurangan diri tidaklah bisa dirumuskan dalam satu waktu. Menemukan konsep kelebihan dan kekurangan diri adalah sebuah proses panjang dan terus-menerus seirama dengan proses pengembangan diri. Perlu adanya upaya eksplorasi dalam rangka menemukan konsep tersebut.

Karena membutuhkan upaya eksplorasi untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan, maka kelebihan dan kekurangan dapat berubah seiring dengan proses pengembangan diri. Bisa jadi yang kita anggap sebagai kekurangan hari ini akan menjadi taring dimasa mendatang; begitupun sebaliknya bisa jadi yang kita anggap sebagai kelebihan hari ini akan menjadi bumerang di kemudian hari. Kelebihan dan kekurangan bukanlah sebuah kondisi final yang bersifat statis, kelebihan dan kekurangan akan selalu bersifat dinamis mengikuti proses pengembangan diri sampai menemukan kestabilan.

Ada kalanya mungkin kita terjebak dalam  serentetan kekurangan diri yang menyita waktu dan tenaga untuk memperbaikinya. Yang pada akhirnya kita justru malah susah berkembang karena kehabisan waktu dan tenaga karena hal tersebut. Berikut saya ingin menyampaikan kisah menarik yang pernah saya dapatkan tentang konsep meyikapi kekurangan, barangkali kita dapat mengambil hikmah dari kisah tersebut.

Dikisahkan terdapat sebuah kerajaan di negeri antah berantah dan waktu yang tidak diketahui. Disana hiduplah seorang raja dan ratu dengan rakyat yang hidup sejahtera, yang mana pemimpin mencintai rakyatnya dan rakyatnya mencintai pemimpinnya. Sang raja memiliki sebuah batu rubi indah dan langka yang didapatkan saat mengembara di waktu muda. Karena sang raja sangat mencintai sang ratu, sebagai perwujudan cintanya pada saat ulang tahun pernikahan sang raja memberikan batu rubi tersebut kepada sang ratu. Tak disangka saat menyerahkan batu tersebut pada sang ratu batu rubi tersebut terjatuh dan meninggalkan bekas goresan dan retakan yang sangat jelas.

Mengingat begitu berharganya batu rubi tersebut bagi sang raja dan sang ratu, akhirnya raja memutuskan untuk mengadakan sayembara. “ Barangsiapa dapat memperbaiki batu rubi tersebut kembali seperti semula maka akan mendapatkan hadiah dari harta pribadi sang raja.” Dalam waktu yang tak lama setelah pengumuman para ahli permata berdatangan. Namun dari seluruh ahli permata yang datang tersebut mengaku tak dapat mengembalikan batu rubi tersebut seperti keadaan semula. Rajapun setengah putus asa.

Keesokan harinya datanglah seorang yang tua dan lusuh mengaku sebagai ahli permata. Lelaki tua tersebut menyampaikan bahwa dia tidak dapat memperbaiki batu rubi tersebut menjadi seperti semula namun dia berjanji dapat membuatnya lebih indah dari sebelumnya,  tapi dengan syarat batu rubi tersebut akan dia bawa pulang dan akan dikembalikan seminggu setelahnya. Rajapun setengah ragu, namun dalam setengah keputusasaannya dia mencoba membulatkan kepercayaan dan menaruhkan harapan pada lelaki tua tersebut. Batu tersebut pun diberikan sang raja untuk diperbaiki si lelaki tua.

Seminggu berlalu, lelaki tersebut pun memenuhi janjinya kembali ke kerajaan. Kehadirannya sedikit memudarkan kekhawatiran sang raja yang menantinya sejak beberapa waktu sebelumnya. Lelaki tua tersebut pun membuka kotak yang berisi batu rubi tersebut, Sang raja yang saat itu juga bersama sang ratu sontak terkejut. Bukan, bukan karena batu rubinya menjadi tidak karuan; raja dan ratu tak menyangka bahwa batu yang sebelumnya tergores dan retak tersebut menjadi begitu indah. Ternyata lelaki tua tersebut mengukir batu rubi tersebut menjadi permata berbentuk bunga mawar.

Karena kebahagian raja dan ratu atas batu rubi berbentuk mawar hasil pekerjaan lelaki tua tersebut, akhirnya si lelaki tua mendapatkan hadiah sesuai dengan janji sang raja. Lelaki tua tersebut pun pulang dengan bahagia, bukan karena besarnya hadiah yang diterimanya tapi karena kebahagian raja dan ratu atas batu rubi berbentuk mawar hasil karyanya tersebut.

Bagaimana kisahnya? Dari kisah tersebut saya pribadi mendapatkan beberapa hikmah setelah membacanya. Bahwa kita mungkin tidak dapat menghilangkan kekurangan ataupun ketidaksempurnaan yang kita miliki, namun kekurangan dan ketidaksempurnaan tersebut dapat kita transformasikan kedalam bentuk lain sebagai sebuah kelebihan. Melalui tangan yang tepat sebuah kekurangan dapat di transformasikan menjadi kelebihan. Maka tugas kita adalah menemukan tangan yang tepat tersebut dalam proses pengembangan diri. Dan jika pada akhirnya pun tak kita temukan perubahan dari satu tangan  ke tangan lainnya maka kita perlu melihat tangan kita sendiri dan mulai mencari jawabannya di sana. Tangan kita sendirilah yang akan membawa kita menuju perubahan tersebut.

Saturday, April 18, 2015

Batu Cincin (Tentang Sebuah Proses)


Akhir-akhir ini masyarakat kita dilanda dengan demam batu cincin. Tak jarang dalam keseharian orang-orang disekitar kita membicarakan topik seputar perbatuan. Mulai dari jenis-jenis batu yang beraneka ragam, teknik pengecekan keaslian batu, harga batu yang mahalnya di luar nalar, hingga bahkan mitos kekuatan magis pada batu. Semua topik tersebut mulai akrab kita dengar dalam keseharian. Batu menjadi budaya dan simbol sosial baru yang menggeliat di tengah masyarakat.

Dalam fenomena demam batu cincin yang berkembang sekarang juga sering kita jumpai orang yang menggosok batu secara intens di antara  rutinitas harian mereka. Konon katanya, menggosok batu secara rutin dapat menjadikan batu menjadi lebih mengkilap indah. Semakin mengkilapnya batu semakin memiliki nilai jual yang tinggi.

Berkaca pada fenomena batu cincin tersebut, saya kemudian terlintas pikiran bahwa untuk medapatkan sebuah batu yang indah saja memerlukan proses yang tak mudah. Dibutuhkan proses yang panjang dari batu yang kusam hingga menjadi berkilauan, batu harus di gosok terus-menerus dengan sangat hati-hati dan dihindarkan dari goresan. Seperti itu terus yang harus dilakukan hingga batu tersebut benar-benar menjadi berkilau. Hal tersebut sama halnya jika kita ingin mewujudkan karya-karya besar. Bahwa batu berkilau tersebut awalnya hanyalah bongkahan batu yang kusam, lalu dengan penuh ketekunan dan konsistensi batu tersebut di gosok hingga akhirnya menjadi mengkilat. Ketekunan dan konsistensi dalam proses lah yang menjadikan batu tersebut berkilau dan mengkilat. Disitulah kesamaannya, dalam mewujudkan karya besar kita juga harus melalui serangkaian proses berupa tempaan panjang yang harus dihadapi dengan ketekunan dan konsistensi.

Serangkaian tempaan dalam proses adalah hal wajib yang harus dilalui setiap orang untuk dapat mewujudakn sebuah karya besar. Kalau kata pepatah, “There is no elevator to success,you have to take the stairs”. Ya, tidak ada yang namanya jalan pintas untuk mewujudkan karya besar, apalagi untuk mereka yang memejamkan mata dan berharap saat membuka mata sudah sampai pada tujuan – tidak ada. Kalaupun ada yang lebih mudah untuk mewujudkan karya besar, itu adalah jalan yang lebih baik. Jalan yang merupakan hasil pelajaran dari proses yang di jalani orang terdahulu. Kita perlu mengingat bahwa sebuah karya besar tetaplah selalu dimulai dengan berbuat. Sejauh apapun perjalanan selalu harus dimulai dengan satu langkah kecil.

Yang menjadikan karya menjadi berharga adalah karena proses yang di laluinya. Seperti halnya batu yang mengkilap, awal mulanya sama dengan yang lain – hanya bongkahan batu yang kusam. Yang menjadikan batunya menjadi indah ya karena prosesnya tersebut. Maka pada prinsipnya semua karya besar awalnya juga merupakan hal yang biasa-biasa saja, bahkan mugkin suatu hal yang dipandang sebelah mata. Di tangan yang tepat, dengan ketekunan dan konsistensi hal tersebut dapat diasah menjadi sebuah karya besar. Kenapa saya menggunakan kata di tangan yang tepat? Karena dalam memproses suatu hal juga dibutuhkan ilmu, ada tekniknya. Dan lmu tersebut juga harus di pelajari dalam serangkaian proses mewujudkan karya yang besar tersebut. Pada akhirnya kuncinya lagi-lagi adalah soal memberikan yang terbaik dalam proses.


Menutup tulisan ini guru kehidupan saya pernah berpesan, “bahkan untuk menikmati mie instan kita tetaplah harus melalui proses.” Bahwa meskipun berjudul “instan”, mie yang kita inginkan tidak serta merta terhidang di piring. Mie tersebut harus melalui sserangkaian proses dari memanaskan air, merebus mie, membumbui, hingga akhirnya dapat terhidang di piring. Maka sedekat apapun tujuan pada akhirnya tetaplah membutuhkan proses untuk mencapai tujuan tersebut. Maka percayalah bahwa setiap peluh yang dikeluarkan dalam berproses membawa kita lebih dekat kepada tujuan. Dan jalan terbaik dalam berproses adalah menikmati setiap detail usaha yang ada didalamnya.

Sunday, April 12, 2015

Jebakan Remeh


Jika anda memiliki uang sebesar Rp 200.000,- kemudian anda menggunakannya untuk membeli baju seharga Rp 80.000,- berapa uang kembalian yang harusnya anda terima? Sampai disini silahkan anda pikirkan jawaban anda sejenak.

Jika anda menjawab Rp 120.000,- maka jawaban anda tidaklah tepat. Lah kenapa tidak tepat? Karena meskipun anda memiliki uang Rp 200.000,- tentunya anda cukup membayar baju tersebut hanya dengan selembar uang Rp 100.000,- tidak perlu sampai dua lembar seratus ribuan kan? Dengan kata lain uang kembalian yang harusnya anda terima adalah Rp 20.000,-

Saat pertama kali saya mendapatkan pertanyaan tersebut saya juga salah dalam menjawab. Dan pada umumnya beberapa orang juga terjebak  saat pertama mendapatkan pertanyaan tersebut. Hal tersebut membuat saya tertarik untuk membahasnya. Dari kasus pertanyaan tersebut saya mendapatkan pelajaran, bahwa kadang kita bukannya gagal pada suatu perkara rumit yang membutuhkan banyak tenaga dan pikiran, malah kita justru gagal dalam jebakan pada perkara yang remeh dan tak terlihat seperti ganjalan yang berarti.

pada kasus pertanyaan diatas juga terkesan remeh dan tak susah untuk di jawab, namun percaya atau tidak sikap tersebutlah yang menjadikan kita lengah sehingga tidak berkonsentrasi. Tidak konsentrasi menjadikan pikiran menjadi buyar, megaburkan tujuan dari berpikir. Hal tersebut menjadikan kinerja otak menjadi menurun, memutuskan benang merah dalam proses berpikir. Menjadikan penyelesaian masalah tidak sampai kepada akarnya, bahkan dapat memunculkan masalah baru.

Sikap, sikap kita dalam meghadapi masalah akan sangat menentukan hasil pekerjaan. Penyikapan yang baik akan menjadi pemantik untuk membentuk kesiagaan setiap indera, kesigapan dalam bertindak. Dengan kata lain, penyikapan yang baik berbanding lurus dengan pembentukan konsentrasi yang baik pula. Penyikapan yang baik akan memfokuskan setiap indera kepada pekerjaan, mengkolaborasikan setiap indera untuk mendapatkan hasil yang optimal. Kolaborasi indera tersebutlah yang disebut dengan konsentrasi.

Penyikapan yang baik diperlukan dalam menghadapi setiap kondisi, baik dalam permasalahan yang rumit maupun dalam perkara yang remeh. Agar kita tidak lagi terkena jebakan dalam perkara yang kita anggap remeh dan mendapatkan hasil yang optimal saat menghadapi permasalahan yang rumit. Di akhir tulisan ini saya ingin menguji anda dengan sebuah pertanyaan – perhatikan dengan baik. Jika ada sebuah kereta rel listrik melaju ke arah utara, kemana kah arah asapnya? Silahkan pikirkan sejenak jawabannya. Baik, jika sudah dipikirkan berikut saya sampaikan jawabannya. Jawabannya adalah kereta tersebut tidak mengeluarkan asap karena keretanya bertenaga listrik. Hehehe. Selamat bagi anda yang sudah tepat dalam menjawab, anda telah berhasil menghadapi jebakan remeh. 

Wednesday, April 1, 2015

Belajar Dari Perpisahan


Dalam berjalannya sebuah hubungan pada akhirnya kita akan dipertemukan dengan perpisahan. Perpisahan adalah sebuah keniscayaan seperti halnya berlalunya waktu. Seperti berlalunya kisah kehidupan kita dalam fase yang berbeda-beda. Rasa-rasanya mungkin baru kemarin kita tertawa dalam jam kosong bersama teman-teman kelas di SMA, ternyata sekarang kita sudah dipakaikan toga wisuda. Barangkali kita sekarang sibuk mencari kerja, mungkin kedepan kita akan tersenyum mengingat kisah perjuangan sambil duduk di kursi pimpinan. Bisa saja sekarang kita sedang mendamba cinta, namun suatu hari tak terasa kita sudah melihat anak-anak yang beranjak dewasa. Begitulah waktu berlalu saja, dan dari sekian banyak waktu yang kita lalui tersebut kita selalu di iringi dengan pisah sambut dari satu fase ke fase lainnya.

Meskipun tidak ada jaminan, jalan terbaik merencanakan kondisi perpisahan adalah dari awal pertemuan. Tak ada yang namanya kebetulan dalam sebuah pertemuan, semua sudah digariskan bahwa pada salah satu titik waktu keduanya memang dipertemukan – Allah lah yang mempertemukan. Bahwa Allah telah mempertemukan untuk suatu alasan, entah untuk memberi pengajaran atau menerima pelajaran. Maka saat kita memulai hubungan pada titik pemahaman tersebut – tak peduli seberapa getir ataupun manisnya waktu yang dilalui bersama – semua akan dibingkai dalam hikmah diujung perpisahan yang baik.

Suka atau tidak kita pasti akan dihadapkan dengan perpisahan, dan kita selalu diberikan kesempatan untuk mengakhirinya dengan kondisi yang baik ataupun buruk. Perpisahan yang baik selalu memberikan kesan melankolik, menimbulkan suasana haru antara pihak yang meninggalkan dan yang ditinggalkan. Menjadikan setiap detail potongan waktu bersama menjadi bermakna. Yang tetiba menjadikan langkah kaki terasa berat untuk beranjak. Sebaliknya, perpisahan yang buruk selalu meninggalkan kekacauan, memuncakkan amarah antara pihak yang meninggalkan dan yang ditinggalkan. Menjadikan setiap diri didalamnya mengutuki setiap waktu yang dikeluarkan untuk bersama. Yang sejak lama menjadikan kaki ingin segera beranjak pergi.

Perpisahan mengajarkan untuk terus bergerak meski dalam keadaan ringan maupun berat. Bahwa kita tidak bisa selamanya berhenti pada suatu fase – meskipun itu nyaman, meskipun itu menyenangkan. Dalam setiap perpisahan selalu ada orang di depan yang akan menyambut kedatangan. Sebuah fase baru yang akan menawarkan pengajaran dan pelajaran. Maka jalan terbaik adalah melalui setiap pisah sambut dalam kehidupan dengan terus memperbaiki diri dan menebar kebaikan.

Begitulah terus pisah sambut akan terjadi, hingga pada akhirnya maut yang akan memisahkan. Lalu kita akan diantarkan kembali pada pertemuan akbar di kampung akhirat, yang pada akhirnya kita akan dihadapkan pada sebuah perpisahan terakhir – surga dan neraka. Maka disinilah kita berdoa semoga kelak tidak dipisahkan dan tetap dikumpulkan dalam surgaNya.

Tuesday, March 31, 2015

Ketulusan Dalam Berbuat


Adalah Uwais Al-Qarni seorang lelaki asal Yaman. Lelaki yang hidup dimasa Rasulullah namun tak pernah bertemu dengan Sang Rasul, untuk itu dia digolongkan sebagai tabi’in dan bukanlah sahabat. Ya, dia yang meyakini agama yang di bawa Sang Rasul meski tak pernah bertemu secara langsung. Uwais Al-Qarni hanyalah satu dari sekian banyak orang pada masanya yang memiliki kehidupan yang biasa-biasa saja. Seorang yang memiliki kegiatan berdagang dan mengembala seperti lainnya. Seorang yang bukan terkemuka dan terkenal diantara masyarakat sekitarnya.

Lalu apa yang membuatnya istimewa? Istimewanya adalah, karena Rasul mendapatkan wahyu kemudian mengabarkan kepada para sahabat bahwa sosok yang bernama Uwais Al-Qarni tersebut adalah orang yang namanya mashyur  di langit. Ya, lelaki yang bahkan tak pernah bertemu dengan Rasulullah selama hidupnya tersebut. Bagaimana bisa? Ternyata selama hidupnya dia adalah Lelaki yang sepenuh hati berbakti merawat ibunya, lelaki yang menjadikan islam sebagai nafas barunya, lelaki yang sabar dalam mengahadpi ujian, lelaki yang melalui hari-harinya dengan penuh kebaikan. Dia yang tak peduli walau sepi apresiasi, yang tak menghiraukan walau tak ada mata yang memandang. Maka dia yang dengan ketulusannya akhirnya mendapatkan cinta para penduduk langit.

Begitulah kisah singkat Uwais Al-Qarni yang dengan ketulusannya mampu menggetarkan seantero langit. Kisah tersebut mengajarkan bahwa sikap ketulusan dalam berbuat merupakan hal yang sangat penting. Bahwa ukuran perbuatan baik tidaklah dari banyaknya apresiasi, penghalang untuk berbuat kebaikan bukanlah cemoohan. Maka ketulusan tidak melulu soal sikap yang lembut, ketulusan dapat juga berbentuk ketegasan. Ketulusan adalah konsistensi berbuat kebaikan dalam segala keadaan.

Kita adalah aktor dalam panggung kehidupan. Kita lah pelaku yang menjalani alur ceritanya. Orang disekitar kita adalah penonton, dan yang namanya penonton pekerjaannya adalah mengomentari. Saat ceritanya bagus mereka memuji, saat ceritanya sedang tak bagus mereka mencaci. Begitu terus sampai cerita selesai, hingga tanpa disadari mereka tak memperoleh apapun dari komentarnya melainkan membuang energi. Maka disini kita dapat menarik kesimpulan bahwa kita hanya perlu fokus, tugas kita adalah menjalankan peran dengan sebaik-baiknya. The show must go on.

Sunday, March 29, 2015

Tukang Kompor


Kompor (n); Perapian untuk memasak.  (v); Kerap kali digunakan sebagi kata kiasan saat terjadi situasi provokasi agar orang lain terpancing untuk berbuat sesuatu, pelakunya sering disebut dengan tukang kompor.

Tentunya sebagian dari kita dalam keseharian sudah tidak asing dengan istilah tersebut. Tukang kompor, orang tersebut biasanya hampir selalu dapat kita temukan didalam lingkaran pergaulan kita. Para pelaku biasanya beraksi pada saat kondisi dimana ada salah satu orang yang tak ingin dan atau tak berani berbuat suatu hal. Seringkali tukang kompor menyebabkan kejengkelan karena telah mengantarkan pada momen yang tidak kita kehendaki. Pada kondisi tertentu tindakan pengomporan bisa jadi berakibat negatif, namun jika digunakan dengan tepat hal tersebut dapat menjadi pemicu yang positif.

Pada dasarnya tukang kompor adalah sebuah katalisator, yang dapat diartikan sebagai orang yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan, mempercepatnya, ataupun menimbulkan hal-hal baru dalam diri kita. Tentunya kita harus berhati-hati, disinilah pentingnya kita untuk memiliki lingkungan yang baik. Jangan sampai kita yang sudah berdiri dalam kebaikan malah bertemu dengan para tukang kompor yang akan merubah diri kita sejengkal demi sejengkal hingga terjerumus kepada keburukan.

Tentunya sudah tidak asing di telinga kita bukan? tentang analogi lingkungan pergaulan antara pandai besi dan penjual parfum. Jika kita sering bergaul dengan pandai besi maka baju kita akan berlubang terkena percikan bara api, begitu halnya jika kita bergaul dengan penjual parfum sedikit banyak baju kita dapat terciprat aroma wangi.

Begitulah lingkungan sangat berpengaruh bagi kita. Anda boleh percaya atau tidak, bahwa sebagian besar karakter diri dibentuk dari lima orang  terdekat yang kita sering mengeluarkan waktu bersamanya – silahkan, boleh di cek. Kesimpulannya, temukanlah lingkungan yang baik. Tempat dimana kita bisa menemukan para tukang kompor yang dapat menjadi katalisator perbaikan. Membawa perubahan, mempercepatnya, dan menjadikan diri menjadi lebih baik.

~Tetaplah di lingkungan yang baik, niscaya kebaikan mereka akan memastikan kita baik-baik saja dan menjadikan kita lebih baik lagi.

Versi Terbaik


Abraham Maslow – seorang psikolog asal Amerika – memiliki sebuah teori tentang piramida kebutuhan manusia. Dia membagi kebutuhan manusia dalam sebuah hirarki dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Kebutuhan tersebut dimulai dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan dicintai, kebutuhan dihargai, dan dipuncaki dengan kebutuhan aktualisasi diri.

Aktualisasi diri sebagai puncak kebutuhan manusia diwujudkan dalam keinginan terus menerus untuk memenuhi potensi. Merupakan sebuah kebutuhan untuk mengembangkan kapasitas, bakat, kekuatan, dan sebagainya. Sebuah keinginan untuk menjadi versi terbaik dari diri, sebuah versi yang diwujudkan dalam pengembangan diri tanpa batas. Bagaimana dengan anda? Sudahkah ada  kebutuhan diri untuk mengembangkan potensi? Jika sudah, berarti anda sampai pada gerbang awal perjalanan menuju versi terbaik dari diri anda.

Maslow menyebut teorinya sebagai hirarki “kebutuhan” manusia. Karena disebut sebagai kebutuhan, maka diri kita sendirilah yang dapat memenuhinya – tak bisa diwakilkan kepada orang lain. Sebagai contoh, tak mungkin kita memenuhi kebutuhan fisiologis seperti lapar dan haus kemudian kita meminta orang lain yang makan dan minum. Kebayang bukan? Tak akan pernah menyelesaikan kebutuhan kita. Maka dalam memenuhi kebutuhan aktualisasi diri pun sama, kita sendiri yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Seperti kata pepatah, “If you are searching for that one person that will change your life, take a look in the mirror”. Setelah membaca tulisan ini segera berkaca dan bilang, “Kamu. Iya, kamu yang akan merubah diri ini”.

Maka benarlah firman Allah dalam Surat Ar-Ra’d ayat 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang pada diri mereka”. Bahwa perubahan memanglah dimulai dari kita sendiri, dan hal ini pun juga berlaku dalam masyarakat. Bahwa dibutuhkan perubahan dari setiap entitas dalam masyarakat untuk dapat membentuk versi terbaik dari negeri kita tercinta, Indonesia.

Pada akhirrnya perubahan yang kita maksudkan tentunya adalah perbaikan yang berkelanjutan. Maka mari kita mulai dengan memperbaiki diri sendiri,  melakukan yang terbaik, dan menjadi versi yang terbaik. Ibda’ binafsi.

Saturday, March 28, 2015

Guru Kehidupan


“Terpujilah Wahai Engkau Bapak Ibu Guru, Jasamu akan selalu ku kenang dalam sanubariku”. Begitulah penggalan lagu yang selalu mengingatkan saya pada momen acara wisuda, Sungguh momen yang bahagia tiada tara. Sebuah momen yang mengakumulasi  rasa haru seluruh kenangan romantika perjuangan menuntut ilmu.

Wisuda juga merupakan sebuah momen yang menyimbolkan purna tugas guru kepada murid. Meskipun begitu, saya percaya bahwa tidaklah ada yang namanya mantan guru, karena ilmu yang kita terima tak akan pernah dapat kita kembalikan – sekali pernah menjadi guru, seumur hidup tetap akan menjadi guru. Secara tak sadar kita tumbuh bersama ilmu yang mereka berikan. Merekalah yang mengantarkan kita ke gerbang menuju tempat dimana kita berdiri sekarang. Maka tak berlebihan jika mereka disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka yang tak mendapatkan imbalan apapun atas segala pencapaian kita, kecuali pahala tentunya.

Guru tidaklah bisa diartikan secara sempit sebagai mereka yang yang melakukan pengajaran di dalam kelas pada sekolah formal. Semua yang memberikan ilmu adalah guru. Kita selalu bisa belajar kepada orang yang ada di sekitar kita, banyak hikmah yang mungkin bisa kita ambil . Saya mempunyai sebutan khusus bagi mereka yang memberikan ilmu dan hikmah tersebut sebagai guru kehidupan.

Ketika kita sudah menerima ilmu bukan berarti tanggung jawab kita selesai. Tugas kita selanjutnya adalah meneruskan ilmu yang kita terima, mengajarkannya. Menyalurkan ilmu adalah sebuah tanggung jawab sebagai bentuk balas jasa kepada para guru kita. Tugas kita adalah meneruskan estafet ilmu sebagai guru kehidupan.

Perumpamaan ilmu adalah seperti air yang jika kita membendungnya akan menyebabkannya keruh dan menjadi sumber penyakit, sedangkan jika kita mengalirkannya akan tetap menjadi jernih dan memberikan manfaat. Begitulah mengapa kita harus senantiasa menyalurkan ilmu. Mari kita menjadi guru kehidupan terbaik, yang mengalirkan segala kebaikan ilmu menuju lautan manfaat.

Friday, March 27, 2015

Kompetensi Meraih Kesuksesan


“Succes is the ability to go from failure to failure without losing enthusiasm”, begitulah seorang Winston Churchill memaknai sebuah kesuksesan. Ada hal yang menarik dari pemaknaannya tentang kesuksesan tersebut, bahwa dia menggambarkan kesuksesan tidaklah dalam suatu kondisi pencapaian tertentu melainkan sebagai kemampuan berproses. Begitulah setidaknya yang saya tangkap bahwa pemaknaan tersebut memanglah tidak menitikberatkan pada apapun yang telah kita capai, melainkan lebih kepada ability yang kita miliki – sebuah kompetensi  dalam berproses.

Berbicara tentang sebuah kompetensi dalam berproses, saya pernah mendapatkan kisah berkaitan dengan hal tersebut – beginilah kisahnya.

Dalam sebuah got di salah satu komplek perumahan terdapat dua ekor tikus yang sedang mencari makan. Dalam proses pencariannya mereka tetiba berhenti, mereka menemukan sepotong roti keju. Sayangnya roti keju tersebut terhalang oleh jeruji besi, tanpa pikir panjang mereka mencoba sekuat tenaga untuk menghancurkan jeruji tersebut dengan gigi-gigi mereka yang tajam. Sayangnya usaha mereka tak berdampak apapun pada jeruji tersebut.

Karena kelelahan merekapun beristirahat dan salah satu tikus memulai perbincangan – dengan bahasa tikus tentunya. Tikus tersebut berkata, “Jeruji tersebut terlalu kuat dan tak mungkin kita hancurkan, kita harus mencari cara lain!”. Tikus yang satu menanggapi, “Aku tak akan menyerah, akan kuhancurkan jeruji itu. Kalau tidak sekarang, kapan lagi kita dapat makan roti keju. Kamu saja yang lemah!”.

Tanpa memperdulikan ejekan temannya, tikus tersebut memilih mundur dan mencari  jalan lain menuju roti keju tersebut. Akhirnya dengan sedikit upaya tambahan tikus tersebut menemukan jalan dan sampai pada lokasi roti keju tersebut. Dan diapun mendapati temannya di balik jeruji besi terkapar kelelahan dan kesakitan karena patah giginya.

Dalam kisah tersebut kita tidak menemukan mental orang gagal diantara keduanya, tidak ada yang menyerah sebelum berusaha – tidak ada. Karena memang cerita tersebut tidak menceritakan tentang mental gagal, cerita tersebut menjelaskan nilai moral  bahwa kegigihan saja tidak cukup dalam mencapai sebuah kesuksesan. Bahwa kegigihan tersebut bukanlah satu-satunya kompetensi dalam berproses yang dimaksudkan dalam pemaknaan kesuksesan diatas.

Dalam berproses, selain kegigihan diperlukan adanya kecerdasan dan keikhlasan. Kecerdasan penting dalam melihat peluang , menemukan momentum, dan mengambil keputusan. Sedangkan keikhlasan memberikan kelapangan hati dalam sempitnya peluang, menumbuhkan keyakinan. Maka ketika ketiga kompetensi tersebut dikombinasikan akan menjadi sebuah perpaduan apik yang disebut dengan kesuksesan. Sebuah kegigihan menghadapi kegagalan, kecerdasan dalam bangkit mencari jalan, dan keikhlasan yang menumbuhkan antusiasme.

Maka disinilah kita mendapatkan konsep bahwa kesuksesan merupakan perpaduan antara kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas. Menutup tulisan ini, guru kehidupan saya pernah berpesan bahwa ada pembeda yang jelas antara orang yang sukses dengan yang gagal – “orang sukses mencari jalan, orang gagal mencari alasan”. 

Tuesday, March 24, 2015

Pengguna Waktu Terbaik


Setiap orang memiliki 24 jam yang sama dalam sehari, namun dalam 24 jam yang sama tersebut ternyata setiap orang memiliki pencapaian yang berbeda. Saya menyebut dengan pencapaian, bukan sekedar pemanfaatan. Nyatanya ada orang yang sama-sama “memanfaatkan” setiap satuan waktu dengan beraktivitas namun ternyata mendapatkan hasil yang berbeda. Bahkan ada orang yang menggunakan waktunya hanya dengan berleha-leha namun memiliki pencapaian yang luar biasa, sedangkan di lain sisi ada orang yang bekerja mati-matian namun tak mendapatkan apa-apa kecuali lelahnya.  Meskipun yang kita bicarakan adalah tentang pencapaian, namun sebenarnya pencapaian tidaklah terlepas dari pemanfaatan waktu itu sendiri. Pencapaian yang luar biasa selalu dilatarbelakangi dengan pemanfaatan waktu yang optimal.

Mari kita coba bayangkan jika waktu adalah sebuah wadah besar yang kosong dan setiap orang memiliki wadah dengan ukuran yang sama. Wadah tersebut menggambarkan 24 jam dalam sehari yang kita miliki. Lalu anggaplah apapun yang bisa ditampung oleh wadah adalah aktivitas yang kita lakukan dalam sehari tersebut. Mari bayangkan wadah tersebut kemudian diisi dengan bongkahan batu hingga penuh. Ilustrasi tersebut merupakan gambaran orang yang dapat mengisi kesehariannya dengan penuh aktivitas – saya ucapkan selamat jika anda sudah dapat melakukannya. Namun sebagian orang yang lain ada yang tidak berhenti dengan hal tersebut, selain mengisi wadahnya penuh dengan bongkahan batu – mereka juga mengisi rongga yang kosong dengan kerikil-kerikil. Orang-orang seperti tersebut memanfaatkan waktu seoptimal mungkin untuk mendapatkan pencapaian yang terbaik. Bahkan, bisa jadi sebagian kecil lainnya ada yang dapat menyisipkan pasir dalam penuhnya wadah dengan batu dan kerikil.

Nah, lalu apa yang orang dengan pencapaian terbaik lakukan dengan wadahnya? Orang dengan pencapaian terbaik tidak cupuk mengisi wadahnya dengan batu, kerikil, dan pasir – mereka mengisinya dengan hal-hal yang memiliki nilai lebih tinggi. Mereka mengisinya dengan karya yang memberikan manfaat. Lalu kenapa ada orang yang berleha-leha namun memiliki pencapaian yang luar biasa? Mereka adalah orang yang sadar bahwa waktu yang ia miliki terlalu sedikit untuk mewujudkan karyanya yang besar. Maka dari itu dia mendelegasikan pekerjaannya,  dan akhirnya dia pun tetap memiliki banyak waktu untuk sedikit berleha-leha dan mencoba mewujudkan karya besar lainnya.
Tidaklah cukup menghabiskan waktu dengan aktivitas yang melelahkan, haruslah ada nilai dalam setiap tetes keringat yang dikeluarkan. Maka benarlah kata pepatah bahwa waktu itu laksana pedang, jika kita tidak  mampu memanfaatkannya, maka ia yang malah akan menebas kita. Jika kita tidak tersibukkan dalam kebaikan, pasti akan tersibukkan dalam kesia-siaan.

Pengendali Waktu


Saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah pertanyaan, tentunya anda mengenal dengan Sapardi Djoko Damono bukan? Seorang pujangga dengan banyak karya. Barangkali jika anda masih samar dengan sosoknya, mungkin puisi berikut dapat mencerahkan ingatan anda.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Bagaimana, sudah ingat? Ya, puisi tersebut adalah karangannya. Puisi berjudul “Aku Ingin” tersebut dibuat tahun 1989 dan terus hidup hingga sekarang, tak pernah padam memberikan pemaknaan cinta yang sederhana – Puisi tersebut tetap melekat di hati para pecinta. Namun saya sekarang sedang tidak akan membahas tentang puisinya tersebut ataupun karya yang lainnya, saya ingin membahas sedikit tentang semangat Sapardi Djoko Damono dalam berkarya.

Tahukah anda? Pada tahun 2015 Sapardi Djoko Damono genap menginjakkan usianya yang ke-75. Dan tahukah anda? Dalam usianya yang lanjut tersebut dia masih mengeluarkan karya. Dia membuat novel berjudul “Trilogi Soekram”, tidak tanggung-tanggung – karyanya berbentuk trilogi!. Barangkali dia berusia 75, tapi menurut saya dia berkarya laksana pemuda berusia 25. Maka pantas kiranya sosok seperti Sapardi Djoko Damono – saya juluki sebagai sang pengendali waktu.

Sang pengendali waktu yang saya maksudkan adalah mereka yang melalui setiap satuan waktu dengan berkarya, mereka yang dengan karyanya menjadi bagian dalam menggerakkan zaman. Jika yang terbayang dalam benak anda adalah mereka yang mampu menghentikan ataupun memutarbalikkan waktu, entahlah – yang bisa melakukan itu menurut saya hanya sang maha pengendali waktu, Allah SWT.

Berbicara tentang para pengendali waktu, kita bisa belajar dari mereka yang sudah sukses dengan karyanya. Mungkin dalam hal ini kita bisa mengambil contoh suksesnya perusahaan IT yang meliputi Google, Apple, Microsoft, dan HP. Perlu anda ketahui, pendiri perusahaan kelas dunia tersebut merintis usahanya dengan berkantorkan sebuah garasi. Menurut saya para pengendali waktu memiliki pola yang sama, mereka memulai karya dengan melakukan. Think big start small, untuk mencapai sebuah tujuan besar selalu dimulai dengan satu langkah kecil.

Memulai sesuatu bisa jadi sama halnya dengan mengayuh sepeda, jika kita berhenti mengayuh kita akan terjatuh. Butuh sebuah konsistensi dalam berbuat – dan tentunya sebuah proses yang disebut dengan belajar. Layaknya anak kecil yang mencoba mahir bersepeda, mereka bisa karena terbiasa, mereka terbiasa karena pembiasaan. Maka tak penting berapa kali kita gagal, yang penting adalah berapa kali kita bangkit. Begitulah terus yang akan pengendali waktu lakukan, sampai mereka mencapai tujuan.
Kita memiliki keterbatasan waktu dalam hidup. Sungguh waktu akan terus berputar, tak akan terpengaruh oleh apapun yang dilaluinya. Celakalah mereka yang berdiam, mereka akan digilas oleh waktu. Merugilah mereka yang terlena, mereka akan hanyut dalam arus waktu. Dan beruntunglah mereka yang berkarya, merekalah yang terpilih menjadi pengendali waktu.
Di akhir tulisan ini mari tanyakan pada diri kita masing-masing, sudahkah kita menjadi pengendali waktu? Jika jawabannya sudah, teruslah berkarya! Jika jawabannya belum, mari mulai berkarya!.

Sunday, March 22, 2015

Akar Semangat


Kamu dan aku tentunya sudah tahu bahwa semangat memanglah fluktuatif. Kadang kita begitu membara, berapi-api, berkobar-kobar dalam jiwa seolah tak ada yang pernah dapat menghentikan kita. Tapi kadang kita menjadi beku, dingin tak berdaya, diam tak berupaya seolah dunia tak adil karena begitu kejamnya kepada kita.

Jika aku boleh menganalogi, bagiku semangat itu laksana akar. Dia terpendam tapi menopang, dia fondasi yang menguatkan. Semakin kuatnya akar, semakin mengokohkan batang. Kau boleh setuju ataupun tidak, aku hanya ingin berpesan padamu yang kian melesu:

Pastikan semangatmu mengakar di hati, bukan membumbung di langit hati ataupun tersimpan di palung hati. Kala badai menghadang, perkuatlah akar semangat agar pohon upaya tetap bisa menjulang kokoh. Apapun yang terjadi tetaplah bersabar, yakinlah pohon upaya akan membuahkan hasil termanis di penghujung kisah perjuangan.

Tersenyumlah, berikan senyuman yang termanis. Semanis kisah perjuangan yang tak lekang hanya oleh kecapan.

Saturday, March 21, 2015

Kawan Sejati


Bisa jadi orang paling berbahaya adalah kawan kita sendiri. Lawan hanya melihat dari cover diri, tapi kawan paling mengerti dari daftar isi hingga referensi. Kawan tahu apa kekuatan diri, tapi tak kalah tahu apa kelemahan diri ini bukan?. Kawan paling tahu kapan waktu yang tepat untuk menikam, kawan pula yang paling tahu darimana harus menusuk.

Tapi percayalah, kawan sejati tak akan pernah berbalik. Kawan sejati mengulurkan tangan untuk membantu, kawan sejati mengepal tangan untuk menguatkan.

Secangkir Cokelat


Pernah bertanya apa yang benar-benar kita inginkan dalam hidup? Bagi saya ini adalah pertanyaan yang menarik. Kebanyakan orang barangkali memiliki jawaban yang sama, ingin hidup bahagia. Jika memang begitu, maka pertanyaan selanjutnya adalah apa yang membuat kita bahagia?, maka disanalah menurut saya akan menjawab pula pertanyaan apa yang paling kita inginkan dalam hidup.

Saya pernah mendapatkan sebuah kisah menarik tentang beberapa orang pemuda yang bertamu kepada gurunya. Saat bertamu para pemuda tersebut disajikan satu teko cokelat panas dengan berbagai macam jenis cangkir, mulai dari cangkir yang cantik, yang mahal, sampai yang biasa-biasa saja. Para pemuda tersebut mulai menuangkan coklat pada cangkir masing-masing, kemudian sang gurupun berkomentar, “Lihatlah, kalian mengambil cangkir-cangkir yang terbaik dan menyisakan yang biasa-biasa saja. Sebenarnya yang kalian inginkan cokelatnya atau cangkirnya?”

Apa yang bisa kita dapat dari kisah ini? Saat kita mengambil cangkir-cangkir terbaik, maka saat itulah sering kali kita mulai membanggakan cangkir yang kita genggam dan bahkan kadang membandingkan dengan yang digenggaman orang lain. Kita lupa bahwa sebenarnya yang kita inginkan adalah meminum cokelat, kita sibuk dengan pesona cangkir-cangkir yang menggoda, padahal kita semua tahu yang membuat nikmat bukanlah cangkirnya tapi kualitas dari cokelat.

Dalam keseharian barangkali kita ditanamkan dengan simbol-simbol kebahagian seperti kekayaan maupun kekuasaan. Maka dapat saya katakan bahwa simbol-simbol tersebut adalah cangkirnya, dan kadang atas nama mendapatkan yang terbaik kita banting tulang, kita jungkir balik, kita jatuh bangun, dan pada akhirnya kitapun tak kunjung bahagia. Kita lupa bahwa kualitas kebahagian ada dalam diri, kita terlalu sibuk dengan godaan cangkir-cangkir yang menyilaukan.

Adalah wajar bagi setiap orang ingin mendapatkan yang terbaik, namun sampai disini cobalah kita tanyakan kepada diri kita kembali, Apa yang sebenarnya kita inginkan?

~Bahagia itu sederhana, kita sendiri yang bikin ribet.